Thursday, March 24, 2016

Still Love you


I will still love you Darling....
Sampai akhirnya kita kan berjumpa.
jangan terlalu lama...
find me....
jangan terlalu lama tersesatnya, sayang....
semoga Allah SWT memberikanmu jalan tersingkat dan termudah ke arahku.


Friday, March 18, 2016

Puzzle (1)








Novel ini ku dedikasikan untuk semua wanita yang sedang berjuang melawan sakitnya agar tetap semangat berjuang untuk tetap hidup dan sembuh.

The Puzzle
A Novel Writting By: Olief Lave


What's Wrong
Gelap....
Gelap sekali....
Udara sangat lembab, aku bisa menciumnya...  tubuhku nyeri dan lelah. Aku ingin istirahat, namun seseorang menarik tanganku, dan menyampirkannya di bahu, dia memapahku. Suara seorang pria memberitahu agar kami berlari, nadanya panik dan mendesak. Rasa takut menjalari tubuhku, tapi aku berdiri juga, menuruti ucapannya. kami harus berlari menyelamatkan diri, entah dari apa. kami berlari melewati semak-semak , tanpa tujuan. Dia tak pernah melepaskanku meski kakiku yang berdarah dan sakit harus ku sered dan tentu itu menghambatnya.
“Pergi! Tinggalkan saja aku dan selamatkan dirimu. Aku hanya menghambatmu.”
“Tidak, Eva!” ucapnya mantap, sama sekali tak berniat melepaskanku.
“Tinggalkan aku! Kau harus selamat.”
“Tidak, kau yang terpenting untukku.” Jelas dari suara napasnya yang berat, dia sudah sangat kelelahan.
“Ayo kesini!” Dia menarikku ke balik semak-semak tinggi.
Ketika berjongkok untuk bersembunyi, baru ku rasakan jika mungkin tulang kakiku ada yang retak, aku menutup mulutku kuat-kuat agar tak bersuara. Dia memelukku, sementara matanya memerhatikan ke balik semak. Kami bisa mendengar derap langkah mendekat, sebelum terlihat tiga orang pria berbadan kekar dengan balok-balok kayu di tangan mereka.
Seseorang yang berbadan paling kekar dan tinggi, dengan kepala botak yang mengkilap terkena cahaya bulan dari sela-sela dedaunan, menatap tajam ke tempat kami  bersembunyi. Tiba-tiba seseorang meraih tanganku, menarikku ke dekapannya dengan kasar. Aku berteriak, meronta, memukulnya sekuat tenaga, menendangnya.
“Hei ... hei... apa yang terjadi? Eva .... Sayang.... aw...” dia jelas kesakitan.
Aku bingung, aku mengerjapkan mata dan segalanya tidak gelap lagi, tapi cukup terang, hampir senja. Matahari sudah berada dekat garis cakrawala. Hampir tenggelam dalam lautan yang airnya berkilauan. Sementara aku mencium bau garam dari angin yang berhembus dari arah samudra atlantik yang tepat berada di seberang jalan. Bukan bau lembab hutan seperti yang ku alami tadi.
Ketika ku angkat wajahku, aku mengenali pria yang memelukku ini. Dia suamiku,William.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah ...  aku baru pulang kerja,” dia menunjuk mobil Ford GT biru nya yang masih terparkir di halaman. Mobil yang sangat mencolok ketika melaju di jalan raya. “Kemudian melihatmu lari, menyered-nyered kaki, bersembunyi di balik semak. Ada apa?”
“Ada tiga orang yang mengejarku, aku berlari dan bersembunyi....”
“Dimana mereka?” Tanya Will.
“Entahlah...”
“Diana....” teriaknya, “Diana...” Panggilnya lagi.
Tak begitu lama, aku melihat Diana berlari menghampiri. Diana adalah kepala pelayan kami.
“Apa yang terjadi? Apa ada orang-orang yang mengejar Nyonya?”
“Orang- orang?”
“Ya, Nyonya bilang ada orang-orang yang mengejarnya.”
“Tidak ada siapapu, Tuan.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu, tapi tadi Nyonya memecahkan teko kemudian dia berlari keluar....”
“Sudah ... kau boleh pergi.” William terlihat panik.
“Permisi, Tuan, Nyonya.”
“Apa aku berhalusinasi?” Will tidak menjawab, dia menatap cemas, “Aku tidak gila kan? Tiba-tiba aku berada di hutan, tiga orang mengejarku dan disana gelap sekali....”
“Eva ... Eva ...” panggilnya, menghentikan ceritaku, “Tidak, kau tidak gila. Kau pasti hanya kelelahan, melamun kemudian berhalusinasi.”
Aku berusaha mengingat bagaimana itu bisa terjadi. Aku ingat tadi sedang mengisi air untuk ku masukkan dalam lemari es. Kemudian semua terjadi, dan telapak kakiku terasa perih. Mungkin ini hanya kebetulan.
“Ayo, kita masuk.” Will memelukku.
Aku berjalan di sampingnya, berusaha menyembunyikan kakiku yang sakit.
“Ada apa dengan kakimu?”
“Aku tidak tahu.”
“Sini....” Will sudah meraih tanganku dan menggendongku di pelukannya.
“Turunkan aku ... mereka nanti melihat kita.”
“Biarkan saja, Eva.”
Pipiku bersemu merah, panas rasanya. Kemudian melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Kami memasuki rumah kami yang bergaya minimalis. Rumah dua lantai yang besar, dengan cat putih dan jendela-jendela lebar. Ketika melewati dapur, aku melihat beberapa pelayan sibuk memasak makan malam dan seorang sedang mengepel lantai, membersihkan pecahan teko kaca. Baru dua minggu lebih kami pindah ke sini. Sebelumnya kami tinggal di sebuah condominium yang sangat dekat dengan rumah sakit di Queens. Hanya saja, aku kurang begitu nyaman tinggal di Queens. Di sana sangat ramai, dan aku butuh tempat yang lebih damai.
“I love you.” Bisik Will di telingaku.
"I Love you, too,” jawabku singkat sebelum Will mengecup pipiku mesra, kemudian beralih ke bibirku. Aku membalas ciumannya.
William mendudukkanku di atas sofa kulit hitam di ruang keluarga, dia masih menciumku. Beberapa detik kemudian dia berhenti, tersenyum karena teringat sesuatu yang sempat terlupakan. Sekali lagi dia mengamati ekspresiku penuh khawatir. Aku melepaskan pelukanku, merasa malu. William beranjak, mengambil kotak obat di laci meja tv. Beberapa detik kemudian dia sudah duduk di sampingku.
“Biar ku lihat kakimu,” dia membuka sandalku yang tipis.
Di alas sandal kaki kananku menempel darah yang lumayan banyak dan lengket ke kulitku. Sepertinya ketika teko itu pecah, ada serpihan kaca yang terpental ke sandalku dan terinjak. Aku merasa perih di sekitar lengkungan telapak kaki kananku.
“Apa perlu di jahit?” tanyaku ngeri.
“Aku harus membersihkannya dulu, jangan sampai ada pecahan yang tertancap. Akan terasa sedikit sakit.” William mengambil kapas dan cairan antiseptik dari kotak obat.
Aku tersenyum, memutar bola mataku, meremehkan. Dia mulai membersihkan kulit di sekitar lukaku. Kemudian mengambil penjepit untuk  menarik serpihan kaca yang tertancap. Darah kembali keluar, rasanya perih ketika menyentuh kapas. Tapi, jujur saja ini tidak ada apa-apanya. Beberapa kali masuk ruang operasi, luka sekecil ini tidak ada apa-apanya, namun tetap saja aku reflek menarik kaki dan meringis.
“Tahan sebentar,” ucapnya sedih.
“Tenang saja, ini kan luka kecil.” Aku tersenyum.
“Benar, hanya luka kecil.” Dia sudah selesai membersihkan lukaku, kemudian mengambil plester dan menempelkannya di lukaku.
“Ada yang lebih menghawatirkan, ya kan?” tanyaku tidak yakin.
“Apa itu?”
Ku tatap matanya, wajahnya tampan meski kami terpaut usia sepuluh tahun. Tentu saja, bukan hanya ketampanan tapi aura kematangan serta kemapanan finansial tampak jelas dalam dirinya. Pasti banyak wanita yang menggodanya di luar sana. Terutama dengan mobil yang di gunakannya berkendara itu, terlalu mencolok. Tapi, bagi seorang pria ... mobil adalah gaya hidup, seperti sebuah pencapaian dalam kemapanan. Padahal tanpa ini semuapun, aku sudah jatuh cinta. Dia memiliki kebaikan seorang malaikat.
Aku memeriksa ekspresi William. Ku belai rambut coklat yang terpotong rapi itu, tekstur halusnya terasa nyaman di telapak tanganku, “Tadi itu ... aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku berhalusinasi? Itu pertanda buruk. Katakan saja, kau kan seorang dokter.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kau baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan, entah apa yang sudah kau lakukan hari ini?” Dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak kelelahan.”
“Oh, tentu saja. Menanam bunga seharian di cuaca panas seperti itu, tidak melelahkan.” Dia menggodaku.
“Kau tahu dari mana?”
“Aku menelepon siang tadi, Diana yang mengangkatnya. Dia bilang kau sedang di halaman menanam bibit bunga yang tadi pagi kau beli.”
“Jadi kau memata-mataiku?”
“Tidak...” Will tampak panik, “Aku hanya mengecek istriku, kau kan mudah sakit.” Godanya.
“Aku tidak selemah itu.” Belaku.
“Salahkah jika aku menghawatirkanmu? Buruk sekali rasanya pernah hampir kehilanganmu. Lagipula, kau masih tidak boleh terlalu cape setelah transplantasi.” Menggunakan tangan kanannya dia memegang dadaku.
Aku memilin jari tanganku pada jari-jari tangannya yang hangat, kemudian menatap ke dalam mata hijau tuanya. Tersenyum, berusaha menenangkan perasaannya.
“Aku tahu kau mencemaskanku, aku tahu kau mencintaiku. Aku akan menjaga diriku lebih baik lagi.” Aku mengecup buku-buku jarinya yang agak tegang, kemudian dia sedikit rileks.
“Ya, kau harus menjaga dirimu untukku.” Dia mengelus naik turun lengkungan pundakku menggunakan tangan kirinya, “Aku harus mandi,” ucapnya kemudian.

William mengecup pipiku sekilas, dia melonggarkan genggamannya agar aku bisa melepas tanganku setelah itu naik ke kamar kami di lantai dua. Aku meraih remote TV yang ada di meja dekatku. Tanpa antusias ku nyalakan TV plasma besar itu, mengoper-oper ratusan chanelnya. Ku putuskan untuk menonton siaran berita CNN. Aku geser sedikit dudukku hingga dekat pegangan sofa. Memposisikan bantal sofa kemudian membaringkan tubuhku sepenuhnya di sofa kulit hitam yang besar. Kemudian aku tertidur sebentar sebelum sentuhan William membangunkanku.
-----Puzzle----

Setelah makan malam, kami menuju ruang keluarga dengan William yang memapahku. Masih terlalu sore untuk pergi tidur. Lagipula, sebelum makan malam tadi aku sempat tertidur sebentar. Kami duduk di sofa. William memeluk ku di sisinya, sementara aku menyandarkan kepalaku di dadanya yang kokoh serta wangi parfum.  William mengambil remot dari atas meja kemudian menyalakan TV.  Dia memencet remot dan mengoper-opernya untuk mencari siaran yang menayangkan film bagus. William tahu jika aku tidak suka menonton siaran olah raga. Selain karena tidak ada pertandingan bagus sore ini. Seharian ini kami belum banyak mengobrol, Will tahu aku akan tertidur dalam waktu kurang dari 10 menit jika kami menonton pertandingan bola.
William berhenti memencet remot setelah menemukan siaran film. Seorang wanita muda sedang kebingungan untuk pulang, karena dia tidak memiliki cukup waktu untuk naik bus yang seenaknya menaikkan tarif secara mendadak. Dia menggedor-gedor setiap pintu sambil melihat jam digital yang terpatri di kulit tangannya. Jam itu berjalan mundur. Rautnya benar-benar cemas. Aku tahu ini film apa.
“In Time. Aku sudah pernah menontonnya.”
“Kau ingin merubah channnel?”
“Ini saja. Aku suka ide filmnya yang bagus.”
Kemudian film sudah sampai pada adegan yang ironis dan emosional.
“Ironis, Will Salas memiliki waku seratus tahun tapi tidak bisa menyelamatkan Rachel yang hanya selangkah darinya.” Ucapku sedih.
“Itukan hanya film. Jika saja kehidupan sesederhana itu, maka kau akan hidup selamanya bersamaku,” William memelukku lebih erat, mengelus rambut panjangku.
“Kita tetap takkan hidup selamanya, meski dalam film itu.” Ucapku sambil mengerutkan dahi.
“Kenapa? Jika ukurannya adalah kekayaan, itu bukan masalah.” Ucap Will enteng.
“Tentu saja akan menjadi masalah,” Debatku keras kepala.”Di film itu pasti takkan ada orang yang membutuhkan dokter atau rumah sakit karena tidak ada orang sakit.”
“Tidak masalah, aku akan bekerja keras. Membangun bisnis atau apapun itu agar bisa sekaya Tn. Weis dan kau akan menemaniku sebagai Ny. Weis”
“Tapi bagaimana dengan Will Salas?”
“Biar orang lain saja yang mengambil perannya.”
“Kau egois.”
William terkekeh sesaat sebelum berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku akan manjadi pria paling egois jika itu menyangkut dirimu.”
Aku menarik napas dalam, “Terserah kau saja,” ucapku menyerah dalam perdebatan
Aku menaikkan kedua kakiku ke atas sofa, kemudian menidurkan kepalaku di pangkuan William. Tangan kiri Will memeluk pinggangku, lalu aku meraih dan memainkan jari-jemarinya yang hangat. Untuk beberapa waktu, kami tidak berbicara.fokus pada film yang kami tonton. Tiba-tiba aku teringat satu film lama yang sangat menyeramkan. Film tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi mata. Mungkinkah apa yang ku alami sore tadi, sama seperti yang dialami gadis itu? Aku sedang menimbang-nimbang untuk membicarakan suatu topik yang tidak masuk akal ini bersama William. Agak sedikit berbau mistis malah. Will pasti akan mentertawaiku habis-habisan. Akhirnya, Tv menayangkan iklan juga.
“Sayang, kau mengantuk?”
“Tidak,” jawabku sambil menggelengkan kepala, “ Aku hanya sedang berpikir.”
“Maukah kau memberitahuku?”
“Entahlah ... kau hanya akan mentertawaiku nanti. Ini benar-benar tidak masuk akal.”
“Apa masih ada hubungannya dengan film ini?”
“Sama sekali tidak ada hubungannya. Tapi, memang ada hubungannya dengan film lama yang pernah ku tonton.”
“Film apa?”
“The Eyes, film yang menceritakan tentang seorang gadis yang menjalani transplantasi mata. Setelah itu, dia selalu melihat hal-hal aneh yang dulu pernah di lihat oleh gadis yang mendonorkan mata padanya. Hal-hal menyeramkan, penuh malapetaka.”
“Biar ku tebak, itu pasti film horor kan?”
“Ya, film horor yang sangat menakutkan.”
“Aku tahu kau akan menghubungkannya ke mana. Sungguh, kau tidak mengalami hal yang sama dengan tokoh dalam film itu. Kau bukan orang pertama yang menjalani transplantasi. Lagipula, donormu itu sudah beberapa minggu koma karena kematian pada otaknya akibat benturan keras pada kecelakaan bus. Kita sudah berterimakasih pada keluarganya, mereka juga rela dan gembira jika salah satu organ dari putri mereka bisa terus hidup dan bisa menyelamatkan hidup orang lain. Gadis itu sudah tenang dan bahagia di surga, tidak ada yang namanya hantu atau sebagainya,” Will meledekku.
“Tapi, apa yang terjadi padaku sore tadi?”
William meringis, mengenang kejadian sore tadi.“Sudah ku katakan jika kau hanya berhalusinasi. Kau kelelahan, sayang. Bisa juga karena efek samping obat atau kau mengalami depresi ringan akibat proses transplantasi yang rumit ini. Semua yang terjadi padamu itu wajar. Dulu aku pernah bilang jika sebagian besar pasien akan mengalami depresi, perubahan emosi dan sebagainya. Tidak ada hubungannya dengan hal-hal mistis, percayalah."
“Aku harap memang itulah yang terjadi.”
“Kau bisa berbicara pada psikiater jika kau mau.”
“Tidak, aku tidak mau jika orang beranggapan aku gila.”
“Semua pasien mendapatkan layanan psikiater. Orang yang mendatangi mereka bukan hanya orang yang hampir gila atau sebagainya. Tapi, orang-orang yang sedang membutuhkan dukunganpun membutuhkan mereka.”
“Cukup kau saja yang mendukungku, Sayang.” Aku menggenggam tangan William di dadaku.
“Aku akan selalu mendukungmu, aku takkan pernah menyerah.”
“Terimakasih, Sayang.” Aku mengecup buku-buku jari William.
“Jangan menghawatirkan hal lain, selain kesembuhanmu.”
Layar televisi sudah mulai menayangkan film kembali. Kami menonton film tanpa suara. William mengelus rambutku hingga membuatku mengantuk. Tidak butuh lama sampai akhirnya aku tertidur. Aku setengah sadar ketika William menggotongku menaiki anak tangga menuju kamar kami di atas.
---Puzzle-----




Monday, March 14, 2016

Puzzle (Prolog)

Prolog



Jika kau menjalani hidup ku, tentu akan banyak pertanyaan dalam benakmu. Bukan karena aku orang yang suka mengeksplorasi banyak hal, tetapi lebih kepada siapakah diriku sebenarnya? Ingatanku penuh lubang-lubang tak lengkap. Bahkan, sesuatu yang paling penting untukkupun tak dapat ku ingat, tidak mudah juga ku yakini jika semua merupakan kebenaran. Seperti ada kabut tebal yang menutupi kenangan masa laluku.
Aku telah lolos dari kematian berkali-kali, bahkan rasa sakit bagiku tidaklah sama seperti apa yang dirasakan orang lain. Menghadapi meja operasi bukan hal yang terlalu menakuktkan. Pastilah karena ada dia yang menggenggam tanganku. Pria yang ku cintai.
Jika hidup yang ku jalani adalah kepingan puzle yang kepingan-kepingannya hilang, sudah menjadi kebutuhanku untuk menyusun kembali dan menemukan kepingan-kepingan yang hilang itu agar hidupku tak lagi terselimuti misteri. Terutama jika aku menemukan banyak kebohongan dalam hidupku yang ku pikir sempurna. Atau seperti itulah awalnya.
Mungkin benar apa yang dikatakan orang, “jangan terburu-buru mengambil keputusan.” Terutama jika itu bersangkutan dengan pernikahan. Tapi, apakah itu berlaku untuk semua orang? Jika aku tak mencobanya, darimana aku tahu jika telah membuat kesalahan? Apalagi jika pria itu adalah pria yang siap melakukan apapun untuk membuat jantungku tetap berdetak.
Bukankah hasil yang diperoleh dari keputusan setiap orang tidaklah sama?











Surat Untuk Jodohku

Aku mencarimu,
aku juga tahu kau sedang mencariku.
Aku resah karena tak kunjung menemukanmu,
aku juga tahu, kau sama resahnya karena tak jua menemukanku
Aku tersesat berkali-kali, salah mengira itu dirimu.
kaupun mungkin tersesat berkali-kali salah mengira itu diriku.
Aku yakin akan menemukanmu suatu saat yang indah
kaupun yakin akan menemukanku suatu saat yang indah
Mari kita sama-sama berdo'a, sayang....
Semoga Allah SWT segera mempertemukan dan menyatukan kita.
Dua belahan hati yang terpisah.
Aku mencintaimu, Jodohku....
Aku juga tahu jika kau mencintaiku, Jodohku.
Dimanakah kau berada?
Aku berdoa, semoga hati dan dirimu selalu Allah jaga, sampai akhirnya bersatu denganku.
Begitupun aku yang kan selalu menjaga diriku, untuk menjadi seseorang yang paling istimewa ketika menjadi istrimu kelak.

Teruntuk jodohku, dimanapun kau berada.
Olief Lave


#To my Soulmate

Saturday, January 23, 2016

Down

Kalau hardisk rusak itu.... tak terkatakan deh. susah banget. ini dia, gara-gara hardisk rusak, semua jadi hilang. data-data, foto-foto, pdf. dan yang bikin nyesek adalah draft novel The Davian book 1 yang cuma tinggal edit 2 adegan terakhir, ending doang....
whufh.... sempet down dan agak depresi jadinya... setres abis ya jelas. nangis gak sudi, tapi pada akhirnya gw nangis juga dah... untuk melepaskan emosi itu.

well... akhirnya gw ganti hardisk baru, dan gw gak bsa buka adsense karenanya. gw otak-atik gak bisa-bisa, ntah kenapa?mungkin ada yang bisa bantu?

setelah beberapa waktu sempet down dan gak nulis lagi.. akhirnya gw putuskan untuk mulai nulis lagi. malah dapet ide baru tulisan... hahai... butuh banyak riset sih. tapi, tetep aja, mulai lagi nulis The Davian, mengais-ngais file di email dan sebagainya itu. karena hasil yang diperoleh mengecewakan, so... gw putuskan menulis ulang total. tapi yah, sejauh ini baru sampai bab 2, benar-benar mengecewakan.

eh ....mungkin ini karena gw sibuk banget deh.
jangan sampai hal ini kalian alami deh, hmm.... kerjaan bertahun-tahun, bisa lenyap tak bersisa. nyeseeeek banget rasanya,

Friday, July 11, 2014

Main Game Dapet Dolar (Dungeon & Treasures)

Dungeons & Treasures
Beberapa bulan lalu, gw cari-cari game yang menghasilkan dolar, tapi gratis alias gak perlu beli ini itu atau bayar pendaftaran, nah akhirnya gw nemu games Dungeons & Treasures ini. Maen gamesnya juga gampang banget, coz game 2D dan hanya memasuki terowongan untuk menemukan harta karun, gold, potion, dan atribut seperti sword dan lain-lain itu, dan semua itu bisa di jual juga termasuk monster-monster yang bisa di tangkap menggunakan jaring, jaringnya boleh beli dulu ye di Shops sekitar 1000 gold. atau tu monster-monster yang kita temuin di terowongan bisa di bunuh aja biar dapet xp, ningkatin level. jadi kita cuma diminta memasuki dungeon, bisa dibilang semacem labirin lah, ada peta di ujung kanan bawah, jadi bisa liat pintu mana yang belum ke buka dan kudu nyari kuncinya biar bisa masuk ke pintu itu kemudian kita juga bisa dapet kunci wood, steel, silver dan gold yang bisa dipakai untuk buka peti harta karun di Chestroom dan memilih satu dari 4 peti harta.

gold yang diperoleh akan di konversikan ke DT$, uang virtual gitu dan semua yang kita dapet seperti sword, potions, keys dll itu akan di kosongkan alias di hapus jadi pas akhir bulan mending jual semuanya dan pakai semua kunci di chestsroom deh, coz bakal hilang dan level yang kita peroleh akan di hapus juga mulai dari level 1 lagi, termasuk gold akan di konversikan ke DT$. dan kita bakal di kasih modal 500 gold. intinya kumpulin sebanyak-banyaknya gold. bisa ikutin kontes-kontes juga yang berhadiah gold. Oh iya, di game ini kita akan diberi 1 dungeon perhari, dan 3 nyawa perhari, jadi kalau nyawanya udah habis ya nunggu besok untuk maen lagi, kecuali kalau punya starpoint yang bisa dipakai untuk membeli nyawa, naekin level dan beli dungeons, starpoint bisa didapet dari ngikutin kontes-kontes dan lainnya yang biasanya berhadiah starpoint untuk beberapa kontestan teratas. maen gamenya gampang coz game 2D jadi gak gerak-gerak berupa gambar doang.

dan kita bisa mencairkan dolar yang kita dapat itu lewat akun paypal.

Emang sih, kalau gw sendiri berhubung belum begitu tau triknya jadi cuma sedikit tiap bulannya tapi lumayanlah untuk belajar cari duit lewat internet. dan pastinya ada trik-trik lain untuk dapet buanyak gold itu.
liat aja di top player, beuh ampe puluhan juta gold yang mereka dapet, di urutan atas pemaen sih... hehehe... saking penasarannya, w itung tuh, wow beberapa ratus dolar mereka dapetin. dan kalian bisa juga ningkatin gold dengan cara kaya gw gini nih...

Trus dari mana dolar/euro yang mereka bagi-bagiin ini?
dari keuntungan penjualan DTcode, kemudian dibagikan ke kita, di konversikan ke gold yang diperoleh kita. dan gak wajib beli DTcode, gak musti beli, gw gak pernah beli malah selama ini. jadi gw rasa sistemnya kaya koperasi gitu. keuntungannya di bagikan deh. dan yang w lihat sih, ntu yang top player no 1 itu, pasti dah promosiin ke banyak orang deh. berhubung w baru kali ini promosiin silahkan klik link yang udah w taro di sini....
silahkan klik dan thaks :) Dungeons & Treasures

Wednesday, December 25, 2013

The Davian Chapter 2

Hai.... :) :)
Oke, dalam satu hari ini saya mengepos beberapa chapter dalam novel saya The Davian jilid pertama.Setelah tadi, beberapa waktu mencari gambar ilustrasi yang kiranya cocok untuk menggambarkan situasi ini. sangat cukup sulit juga carinya, semoga suka :)

Memang dalam novel ini menggunakan nama-nama barat, khususnya eropa, tapi untuk tokoh utama sendiri  "Frea" merupakan nama yang berasal dari bahasa Indonesia. Frea berarti Bangsawan yang adil. Hampir seluruh nama tokoh di The Davian memiliki arti tersendiri, dan hampir seluruhnya juga didapat dari situs http://www.idenamabayi.com/   situs yang benar-benar sangat membantu untuk mencari inspirasi nama-nama tokoh, udah gitu berikut arti dan lengkap banget.

Saya pernah menunjukkan novel ini kepada partner nulis Fantasi saya untuk novel yang lain. Minta tolong untuk baca dan mengomentari, dan dia bilang kalau ini membahas hal yang sama dengan Casual Vacancy nya JKR. padahal, sungguh novel ini sudah ada idenya di kepala sebelum Casual Vacancy rilis, dan saya juga belum pernah baca novel JKR yang satu itu, meski saya sangat ngefans sama JKR dan karya-karya amazing HArry Potternya. So... saya yakin ini novel alurnya dan isinya beda banget dari sinopsis Casual Vacancy, meski sama-sama mengangkat masalah sosial, dan di seting abad pertengahan. hahaha.... coz i love classic story. hakakakak.... Tau kah? Pada bab pertama, saya tulis setelah bab lain jadi, dan dalam kondisi patah hati... hik... hik.... semoga pembaca bisa merasakan pedihnya tragdi itu, tapi... upz kasus beda, saya patah hati bukan karena orang yang dicintai tewas, tapi karena ditinggal nikah :( huaaa..... Upz... curcol boo....

Waw kayanya udah terlalu banyak bercerita deh. Yuuk silahkan dibaca, ditunggu komentar dan kritik nya,,,, folow juga ya..... :):):)


The Davian Book 1
By: Olief Lave/ Kholifah Fitrianingsih
Bab 2: Keluarga Seablert
                Suara gaduh sentakan kaki dengan lantai parket kayu terdengar. Mengganggu Fiona Seablert yang sedang menata sarapan di ruang makan, satu lantai dibawah sumber suara. Tidak lama kemudian, terdengar suara dua wanita muda yang berdebat. Markuires Seablert berusaha mengacuhkan suara berisik itu. Ia terus menata meja sambil memberikan perintah dan mengecek pekerjaan pelayan-pelayannya.
                Markuires Fiona Seablert adalah istri dari Markuis Verrel Seablert. Seorang wanita yang masih terlihat cantik diusia 42 tahun. Kulitnya putih bersih, memiliki rambut ikal berwarna emas yang selalu ia tata dengan gelungan sederhana. Jepit dari perak atau emas yang dihias mutiara maupun batuan mulia berbentuk bunga memanjang, selalu tersemat di sisi kanan rambut. Verrel sungguh beruntung mendapatkan Fiona yang digilai pria bangsawan, pada masa mudanya.
“Ibu ... Frea mengambil jepit rambutku.”
                “Pengadu! Lagipula, ini milikku yang belum kau kembalikan.”
                “Elenor Frea, Daila Rose ... jangan sampai ibu naik keatas!” Ancam Nyonya Seablert dari ruang makan. Suaranya terdengar berteriak.
                “Frea mengambil jepit tulip yang sedang kupakai.”
                “Aku hanya mengambil milikku,” bela Frea.
                Frea berlalu menjauh dari Daila, mendekati tangga turun. Rambut ikal cokelat sepunggungnya mengibas. Daila mengikuti dari belakang, berusaha merebut kembali jepit rambut tulip yang terbuat dari emas putih, serta berhiaskan berlian kuning di bagian putik.
                Sepintas, Frea dan Daila tampak sama. Mereka memiliki bibir tipis merah dari Fiona. Bola mata mereka berwarna hijau terang, Daila memiliki dagu labih lancip, sedangkan Frea memiliki hidung mancung sama seperti ayahnya, lebih mancung dari Daila dan ibunya. Serta Frea lebih tinggi dua senti dari adiknya, rambut Daila memiliki warna yang sama dengan rambut Fiona, keemasan. Hanya saja sedikit gelap karena Verrel memiliki rambut coklat. Sedangkan warna rambut Frea lebih coklat, lebih mirip warna rambut Verrel, hanya sedikit lebih terang.
                “Margharet, kau awasi pekerjaan para pelayan. Aku tidak tahan dengan keributan diatas.”
                “Baik, Nyonya.”
                Kepala pelayan urusan dapur berusia 60 tahun itu mengangguk, mengiyakan perintah Fiona. Walau sudah tua, Margharet masih terlihat segar. Apalagi dengan penampilannya yang selalu rapi dan bersih. Walaupun, rambut yang selalu digelung itu sudah hampir memutih sempurna.
                Fiona naik ke lantai dua. Menuju sumber keributan. Dengan perasaan jengkel dan kesal. Sepertinya tidak ada seharipun tanpa pertengkaran diantara kedua putrinya itu. Segala hal maupun barang dapat diperebutkan ataupun diributkan oleh mereka. Dan tidak ada seorang pun yang mau mengalah.
                “Kali ini apa yang kalian ributkan?”
                “Frea merebut jepit rambut yang sedang aku kenakan, Bu.”
                “Tidak ... Daila yang mengambilnya diam-diam berbulan-bulan lalu dariku.”
                “Itu tidak benar. Aku pernah bilang meminjam padamu.”
                “Kapan?”
                “Su ... sudah lama. Kau pasti sudah lupa.”
“Hentikan! Frea, mungkin kau dapat meminjamkannya pada adikmu.”
                “Tidak Bu, sudah terlalu lama. Lagipula aku ingin memakainya, dan akan sangat cantik di rambutku. Kau tahu kan Daila, kalau hadir dalam parade itu sangat penting. Siapa tahu, Dux of  Swaggart hadir.”
                “Ibu....” rengek Daila.
                “Pakai jepit rambut yang lain! Ibu bosan menengahi pertengkaran kalian!”
                Fiona beranjak menuruni tangga kayu berukiran. Meninggalkan selasar lantai dua. Mulutnya komat-kamit mengatakan kata-kata kesal terhadap kedua putrinya dengan suara hampir tak terdengar.
                “Dan Daila, sudah berapa kali ibu katakan. Tidak sopan memanggil kakakmu hanya dengan namanya. Panggil Frea kakak!” Ucap Fiona dengan tegas sebelum ia benar-banar tidak terlihat.
“Kau dengar itu adik! Dan keahlian dustamu tidak ampuh untuk mengalahkanku.”
“Kau jahat! Lagipula, sejak kapan kau kembali peduli pada remeh temeh parade dan pesta?”
“Sejak hari ini. Aku putuskan untuk kembali. Aah ... ternyata aku cukup rindu menjadi pusat perhatian.”
“Kau tidak sungguh-sungguh kan?”
“Kau takut tersaingi?”
Frea menatap tajam mata Daila. Jelas sekali adiknya itu terkejut dan merasa terancam kalau sampai Frea kembali. Selama beberapa tahun terakhir semenjak Frea menarik diri saja, Daila belum bisa mengalahkan pamor dan ketenaran kakaknya sebagai lady idaman setiap gentlemant.
“Tenang saja, karena aku tidak pernah menanggapmu saingan. Ah ya ... kau belum pantas ku anggap saingan, itu maksudku.”
“Kau jahat!”
“Panggil aku kakak! Tidak sopan!”
Frea meninggalkan Daila yang terbengong-bengong tidak percaya sekaligus kesal. Bagaimana mungkin ia bisa kalah lagi dari Frea, pikirnya dalam hati. Sekaligus merasa kalau kedua orangtuanya pilih kasih. Lebih menyayangi Frea dibanding dirinya. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, kalau ia sangat terancam dengan niat kembalinya Frea.
°The Davian°
Meja makan telah terisi penuh oleh seluruh anggota keluarga. Daila yang malas-malasan dalam menyantap roti gandum dengan isi daging sapi panggang, justru sangat asik memainkan rambut kuningnya yang panjang dan sedikit ikal. Nyonya seablert menatap kesal kepada putri bungsunya itu. Ia paling benci bila ada yang memainkan makanan. Seakan tidak menghargai kerja keras petani hingga gandum itu dapat dibuat roti oleh pelayan, dan barulah dapat terhidang di atas meja makan.
“Ibu ... boleh aku menyudahi sarapanku?”
“Tidak! Habiskan makananmu!”
“Aku sungguh sudah kenyang, Bu.”
“Kenyang? Bahkan menyentuhnya saja belum.”
“Aku takut gemuk bu.... Bagaimana kalau aku makan buah saja ya?”
“Habiskan rotimu dulu! Jangan membuang-buang makanan! Kau tahu roti itu dibuat dengan proses yang panjang, hingga akhirnya tersedia  diatas piringmu kan?”
“Ya ... ya.... Ibu akan mengatakan bagaimana proses gandum ditanam, hingga bisa dibuat roti oleh pelayan, dan bla ... bla ... bukan? Ibu sudah sering mengatakannya.”
“Lantas, kenapa kau selalu membantah?”
“Itu karena....”
“Selalu seperti ini disaat makan,” Keluh Verrel Seablert.
Pertengkaran itu akhirnya berhenti. Daila dengan terpaksa harus menghabiskan sarapannya. Fiona tersenyum puas, karena memenangkan perdebatan dengan Daila. Untuk sesaat, suasana tenang tercipta diruang makan. Sedangkan Frea sendiri, sejak awal tidak berminat berada dalam pertengkaran adik dan ibunya. Ia lebih memilih makan dengan tenang, sama seperti ayahnya.
“Frea ... ayah dengar semalam kau mimpi buruk lagi?”
“Sepertinya begitu,” Frea tersenyum berusaha tegar.
“Apa ayah perlu memanggil dok....”
“Tidak perlu,” Potong Frea, “Bisa ku atasi.”
“Well, baiklah. Ngomong-ngomong apa kau dapat menemani ayah berlatih memanah pagi ini?”
“Tentu. Aku tidak memiliki rencana apapun hari ini.”
“Kau memang tidak punya rencana apapun selama empat tahun terakhir!”
“Ah ya ... aku lupa. Aku tidak sepertimu yang selalu menghabiskan waktu di butik untuk menguras uang keluarga.”
“Kita ini bangsawan, sudah seharusnya hidup seperti itu kan? Aku sempat berpikir, apa kau benar-benar bangsawan? Apa kau benar-benar anak ayah dan ibu?”
“Kau bisa melihat siapa yang lebih mirip. Aku atau dirimu dalam hal bersikap. Ah ... ya, aku dengar kau belum bisa menyamaiku. Padahal aku sudah memberimu waktu empat tahun untuk lebih baik.”
“Frea ... Daila ... hentikan!” Sentak Verrel.
“Maafkan aku, ayah.” Frea memberikan senyum kecil inocent.
“Baiklah ... bagaimana? Kau mau menemani ayah berlatih?”
“Bagaimana mungkin aku menolak.”
“Bagus.”
“Tidak seharusnya kau selalu mengajak Frea berlatih. Ia Lady, bukan gentleman.”
“Apa aku salah, Fiona? Kita kan tidak punya anak laki-laki. Lagipula, Frea tidak keberatan kan?”
“Tentu. Aku tidak keberatan.”
“Makanya, kau harus segera menikah agar ayah memiliki anak laki-laki. Benar kan Bu, Yah?”
Fiona dan Verrel diam saja. Tidak menanggapi sindiran Daila terhadap Frea. Justru, Verrel mengendurkan celana agar dapat bernapas lebih lega. Karena faktor usia, beberapa tahun terakhir, tubuh Verrel kelebihan beberapa kilo berat badan. Meski dia masih terlihat gagah, selain aura bijaksana yang semakin tua semakin menarik.
Walaupun usia putri sulungnya itu 22 tahun. Tetapi, mereka tidak ingin sebuah pengalaman pahit terulang lagi. Apalagi kala itu, cukup membuat mereka kewalahan dan menanggung malu di kalangan bangsawan. Penolakan tegas yang memalukan berkali-kali dilakukan Frea dengan perasaan tanpa dosa. Upaya yang Verrel lakukan dengan harapan putrinya itu bisa melupakan masa lalu tragis.
“Aku pasti akan menikah. Tenang saja.”
“Setelah menolak berapa banyak lagi? Sampai sekarang saja, sudah enam pria yang kakak tolak bukan?”
“Karena mereka semua sama saja. Tidak berbeda seperti....”Sebulir air mata menetes, tepat setelah ia menundukkan kepala sambil menjejalkan roti dalam mulutnya.
“Dre? Pemuda pengangguran tidak jelas yang kau pungut di pinggir jalan itu? Seleramu benar-benar rendah!”
“Apa kau bilang? Kupungut di jalan? Kau pikir dia lebih hina dari pria-pria bangsawan yang kau kencani?”
“Oh ya, tentu saja!”
“Hentikan, Daila! Tidak perlu dibahas lagi! Ayah yakin, suatu saat akan ada pria yang pantas untuk Frea. Masalah cinta, tidak bisa dipaksakan. Kelak kau akan mengerti dengan semua yang dilakukan kakakmu. Dia masih membutuhkan banyak waktu untuk melupakan masa lalu.”
“Dan kau, Daila. Senang betul membuat keributan diruang makan!” Fiona sedikit marah.
“Selalu aku yang salah.”
°The Davian°
            Matahari baru saja mulai naik. Memberikan udara hangat di bulan Agustus. Rumput tumbuh hijau terbentang di halaman belakang puri yang luas. Lebih kebelakang lagi, terdapat hutan pinus. Titik air melembabkan rumput. Semalam hujan gerimis selama satu jam masih meninggalkan titik-titik air itu dipermukaan rumput jepang.
                Frea dan ayahnya, Verrel Seablert, telah berada di halaman belakang itu. Papan target yang dipasang permanen bertahun-tahun lalu, sudah mulai terlihat usang. Terlihat dalam waktu lama sudah jarang digunakan berlatih. Lubang-lubang bekas tancapan panah, sudah mulai menghilang dimakan cuaca. Frea menggelung rambutnya menggunakan tusuk konde perak berhias beberapa mutiara diujungnya. Ia sudah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan gaun seperti ketika sarapan. Kemeja putih berlengan lebar, ikat pinggang kulit serta celana kulit hitam yang ketat mengkilap. Setelan yang sejatinya dipakai oleh pria.
“Siapa yang akan memulai lebih dulu?”
“Ayah dulu saja.”
“Oke....”
Tuan Seablert menarik anak panah dan mulai melakukan sikap memanah. Ia menarik busur kebelakang, matanya konsentrasi membidik sasaran. Berusaha agar anak panah itu dapat menancap di bagian terdalam lingkaran yang berwarna merah itu. Tidak lupa, Tuan Seablert menghitung kecepatan serta arah angin. Setelah ia rasa siap meluncurkan anak panah, dengan kecepatan penuh, anak panah menancap pada papan sasaran.
“Yea ... lumayan. Walau panah ayah berada di tengah sasaran. Tetapi, hampir menyentuh garis.”
“Cobalah kalahkan ayah!”
“Well ... apa hadiah bila aku dapat mengalahkan ayah?”
“Apapun yang kau minta.”
“Oke....”
Dalam gerakan secepat kilat, Frea membidik papan sasaran. Anak panah meluncur secepat angin. Tahu-tahu sudah menancap tepat di tengah-tengah papan sasaran. Dengan nilai sempurna. Tuan Seablert sempat terkesima, sungguh mengagumkan. Tiga detik kemudian, ia memberikan tepuk tangan.
“Tidak ku sangka. Padahal, sudah bertahun-tahun kau tidak berlatih.”
“Bakat tidak akan pernah hilang bukan, Yah?”
“Andai kau laki-laki ... pasti sudah menjadi komandan perang, atau mungkin seorang jendral....”
“Tapi, sayangnya aku wanita kan?”
“Kau tetap permata bagi ayah.”
Frea hanya membalas ucapan ayahnya dengan senyuman tulus seperti biasanya. Sudah lama memang mereka tidak berlatih. Frea yang semakin dewasa menjadikan mamanah bukanlah hal yang begitu penting dan pantas lagi untuk dipelajari.
“Masalah hadiah ... apa benar ayah akan memberikan apapun?”
“Kau ... tidak pernah melupakan ucapan ayah.”
“Janji adalah janji bukan?”
“Ya ... ya.... Jadi apa yang kau inginkan?”
“Untuk saat ini belum ada.”
“Baiklah.... Kalau suatu saat kau sudah memiliki permintaan, akan ayah kabulkan.”
“Apapun itu?”
“Apapun itu.”
“Dan ngomong-ngomong ... apa kau akan menghadiri parade siang ini?”
Kini mereka sudah duduk di kursi taman yang terletak di sisi kiri tempat latihan memanah. Di bawah pohon beringin besar yang rindang. Terdapat taman kecil yang ditanami bunga mawar dan lily beraneka jenis, serta beberapa jenis anggrek. Bunga-bunga yang sebagiannya ditanam oleh Fiona dan Frea dikala senggang. Bunga-bunga itu tidak ditata secara jenis maupun warna, tetapi ditanam begitu saja dimana mereka suka.
“Aku rasa aku akan datang. Lagipula, tadi pagi sudah terlanjur bertengkar memperebutkan jepit rambut pemberian ayah. Daila memang sungguh menyebalkan! Bila meminjam, hampir tidak pernah ia kembalikan, tanpa aku ambil paksa.”
“Seperti itulah adikmu. Tetapi, walau bagaimanapun, ia tetap saudaramu.”
“Aku tahu, dan aku sangat menyayanginya tentu.”
“Bagus ... kita semua akan berangkat menonton parade, termasuk Margharet dan Hugo. Dan Frea, ayah senang kau mau kembali kedalam pergaulan. Itu berarti kau sudah bisa mengubur masa lalu itu. Ayah sendiri merasa bersalah dan merasa ikut andil dalam tragedi yang menyebabkan kematian Dre. Andai ada yang dapat ayah lakukan selain kata maaf.”
“Aku sudah akan bisa mengatasinya, Yah. Aku rasa, kami bukan ditakdirkan untuk bersama. Ayah juga tahu kalau kita tidak akan pernah bisa melawan takdir, seperti yang selalu ayah katakan padaku.”
“Kau sudah lebih dewasa sekarang.”
“Tentu saja, aku 22 tahun, Yah. Walau aku sempat menghilang. Jauh kedalam hatiku yang merana. Meratapi yang sudah terjadi bukanlah hal bijak, akhirnya aku sadar tentang itu. Kisah kami indah, dan biar itu selamanya indah. Menjadi petualangan terliarku dalam hidup, hingga aku mengerti mengenai hidup.”
“Putriku....” Verrel memeluk Frea. Air mata menetes dipipinya, yang segera dihapus.
“Ayah ... aku sudah bangkit. Jangan mengkawatirkanku lagi, ya....”
“Tentu ... tentu, Putriku.” Verrel melepaskan pelukannya, menepuk pundak Frea sambil tersenyum tegar, “Ah ... matahari sudah mulai naik, sebaiknya kita masuk kedalam.”
“Ya....”
Verrel berlalu berjalan dibawah rindangnya maple-maple berdaun merah yang rindang, yang ditanam dipinggir-pinggir trotoar taman hingga menjadikannya rindang serta penuh warna. Frea tersenyum menatap punggung ayahnya yang sudah tidak begitu tegap lagi seperti ketika Frea kecil. Dipunggung itu, Verrel sering menggendongnya masuk ke puri selesai jalan-jalan ditaman seperti hari ini. Terkadang Frea rela berpura-pura terjatuh saat berjalan-jalan agar ayahnya itu mau menggendongnya, terkadang sampai membuatnya tertidur dipundak ayahnya itu.
“Frea ... ayo!” Panggil Verrel setelah agak jauh namun putrinya masih terpaku ditempat semula.
“Ya, Ayah....” ucapnya sembari tersenyum.
Sebenarnya Frea tidak begitu suka menonton parade maupun menghadiri pesta bangsawan empat tahun terakhir. Ia menyadari kalau pesta-pesta itu suatu pemborosan. Selain itu, banyak lady yang hanya berpura-pura menyukainya. Tapi, pada kenyataannya hampir semua mereka saling membenci karena persaingan. Mereka seperti boneka-boneka porselen cina yang memakai riasan tebal, penuh sandiwara, penuh kepalsuan. Menyembunyikan siapa diri mereka sesungguhnya dihadapan orang lain. Satu hal lagi, istri-istri bangsawan yang terlihat bahagia dan tegar itu kebanyakan wanita-wanita yang rapuh didalam, mereka tidak benar-benar bahagia. Melainkan jiwa mereka hancur perlahan, tanpa disadari.
°The Davian°